mentari

MENTARI

Penulis: Gita (angkatan 2012)

Matahari bersinar terang layaknya lampu yang berada di dalam ruangan yang gelap. Canda dan tawa menghiasi pagi yang dijalani oleh anak-anak sekolah SMA Negeri 28 Jakarta. Satu per satu murid masuk ke dalam sambil bersalaman dengan guru-guru yang berjaga di depan gerbang. Derap kaki dari murid-murid pun semakin kencang saat jam mulai mendekati pukul 06.30, jam terakhir mereka bisa masuk dan dianggap tidak telat.

Dari kejauhan, seorang murid perempuan kelas X berlari kencang menuju pintu masuk gerbang sekolah, masih berharap ia tidak akan telat. Rambutnya yang dikuncir mengikuti gerakan tubuhnya yang sangat dinamis. Akhirnya, ia pun mencapai gerbang sekolah dan masuk di saat bel baru saja berbunyi. Ia menyalami guru-guru yang ada dan menempelkan jarinya ke mesin kehadiran.

ANDINI PUTRI RAHMAWATI

HADIR DI SEKOLAH PUKUL 06.31

Sambil menghela napas panjang, ia pun bergegas naik ke lantai tiga dan masuk ke dalam kelas X MIPA 1, tempat ia menimba ilmu. Ia duduk di kursi paling depan, persis di samping pintu, dan mengeluarkan al-Quran dari tasnya. Teman sebangkunya tersenyum kecil melihat tingkah laku perempuan itu yang sangat dinamis.

“Din, coba tarik napas dalam-dalam kemudian keluarkan dengan tenang. Kita mau baca al-Quran lho, bukan mau ulangan,” kata teman sebangkunya Andini. Teman sebangku Andini adalah seorang ukhti yang berkerudung panjang dan selalu membawa aura yang penuh dengan ketenangan.

“Ifa! Gue hari ini ga solat subuh lagi gara-gara ketiduran! Terus sekarang gue disuruh tenang?!” kata Andini dengan panik. Pipi Andini yang putih merona menjadi warna kemerahan, lelah dikejar-kejar oleh waktu yang tidak cukup. Ifa, teman sebangkunya hanya tersenyum.

Guru pun masuk dan tadarus dimulai melalui speaker. Kakak-kakak ROHIS kelas XI memimpin tadarus dengan fasih dan lambat. Ifa membacanya dengan tenang, sedangkan Andini? Tidak usah ditanya, ia membacanya dengan fasih, tetapi sebenarnya masih sedikit salah di satu dan lain tajwid yang ada. Setelah selesai, Andini memasukkan al-Quran dan kerudung instan yang dia bawa ke dalam tas dan mengeluarkan buku pelajaran yang diperlukan.

Sekolah berjalan dengan lancar, saat istirahat pertama, Ifa selalu pergi ke masjid untuk sholat dhuha kecuali saat ia berhalangan. Tak jarang Ifa mengajak Andini untuk ikut solat bersamanya, tetapi selalu ditolak dengan alasan Andini masih harus mengerjakan tugas yang harus dikumpul setelah istirahat kedua atau dengan alasan-alasan lain yang sepertinya tidak pernah habis. Sholat zuhur? Kalau itu, Andini tidak pernah terlewatkan karena seluruh muslim di SMAN 28 wajib mengikuti sholat zuhur berjamaah.

Suatu ketika, Andini mulai lelah dengan rutinitasnya. Ia iri dengan Ifa yang sepertinya selalu tenang dalam segala hal dan selalu membawa kesan yang sangat adem. Andini bertanya-tanya mengapa orang-orang selalu terlihat terburu-buru melakukan sesuatu, tetapi Ifa dengan tenang melakukan apa yang perlu dilakukan dengan seksama, teliti, pelan, tapi semuanya tepat waktu.

“Din, ikut mentoring sore ini, yuk!” kata Ifa dengan semangat mengajak Andini yang baru saja mau pergi beli makan siang saat anak lelaki sholat jumat.

“Kenapa, fa? Kan kita udah selalu ada keputrian yang mirip sama mentoring lah setiap jumat siang. Ngapain gue harus nambah waktu lagi buat mentoring? Mendingan gue tidur aja di rumah. Rumah gue kan jauh, di depok,” kata Andini dengan kesal. Ifa terlihat sedih saat Andini berkata seperti itu, tetapi tetap tersenyum dan menggenggam tangan Andini.

“Gue pastiin, nih, Din. Lo ga akan nyesel, kok! Gue tunggu di MBR bawah ya nanti sore,” kata Ifa dengan semangat. Andini akhirnya pergi beli makan siang sementara Ifa memakan bekal makan siangnya di kelas. Di benak Andini, mentoring merupakan sesuatu yang merepotkan. Ia membayangkan apa yang bisa ia lakukan selama dua jam di rumah dibandingkan ia harus menghabiskannya mendengarkan seseorang berceramah. Ia bisa main game sesuka hati, tidur siang, dan belajar atau mengerjakan tugas. Ya, menurut Andini, ada banyak kegiatan lain dibandingkan mendengarkan orang berceramah. Akhirnya, sore itu, Andini pun pulang dan tidak mengikuti mentoring yang Ifa tawarkan.

Setiap harinya, setelah Ifa menawarkan hal tersebut, tidak ada hari jumat dimana Ifa menanyakan apakah Andini akan ikut mentoring di sore itu. Tahun pun berganti dan Ifa serta Andini naik ke kelas XI. Qadarullah, mereka sekelas lagi dan berada di bangku dengan posisi yang sama lagi. Ifa, dengan gigih, tidak pernah berhenti mengajak Andini untuk ikut mentoring dengannya.

“Ifa! Udah, ah! Gue tuh ga mau ikut mentoring! Kenapa sih selalu ngajak gue terus? Sholat aja gue kadang bolong, kadang engga apalagi pakai kerudung yang kayak lo,” kata Andini yang sudah lelah dengan ajakan Ifa. Dibawah sinar mentari yang menembus jendela kelas, Ifa tersenyum ramah dan memberikan sebuah kertas kecil di tangan Andini.

“Cobalah baca surat yang kutuliskan itu di saat lo udah di rumah, Din. Katakan ke gue, apa masih ada keraguan di dalam keseharian Andini yang sepertinya tidak pernah membuat Andini nyaman, selalu merasa tergesa-gesa, dan hati kosong,” kata Ifa dengan tenang. Senyum di wajahnya tidak pernah pudar, sekalipun Andini menolaknya habis-habisan setiap diajak.

Di rumah, Andini membaca surat Ar-Rahman, dari awal sampai akhir sesuai dengan pesan yang tertulis di kertas yang Ifa berikan padanya. Merasa penasaran dengan ayat yang diulang-ulang, Andini kemudian mengambil al-Quran terjemahan dan membaca artinya.

“Maka nikmat Tuhan-mu manakah yang kau dustakan?”

Andini kemudian berhenti membaca dan langsung sholat maghrib. Padahal, Andini biasanya meninggalkan sholat maghrib untuk menonton anime yang ada di laptopnya dengan dalih nanti-nanti saja sholatnya. Di dalam sholatnya, Andini menangis tidak berhenti. Bahkan, Andini tidak bisa tidur karena terngiang-ngiang ayat tersebut pada malam itu. Ia tidak mengerti, mengapa dirinya selama ini tidak bisa membagi waktunya dengan baik. Selama itu pula, ia selalu iri dan marah pada Ifa yang selalu mengajaknya ke dalam kebaikan.

Dengan hati yang ragu, pada pukul 22.00, Andini mendatangi kamar ibunya dan menceritakan kejadian yang baru saja ia alami. Ibunya Andini tersenyum manis.

“Nak, sebenarnya ibu selalu ingin membangunkanmu setiap sholat subuh, tetapi kamu selalu saja susah untuk dibangunkan. Andini selalu saja bilang akan sholat lima menit lagi, tapi pada kenyataannya Andini malah baru bangun lagi setengah enam dan langsung siap-siap ke sekolah. Tahukah kamu bahwa ketenangan akan didapatkan apabila kamu sholat terlebih dahulu? Wallahualam, anakku, tapi Allah SWT dapat membolak-balikkan hati manusia,” kata Ibu Andini. Sambil mengelus kepala anaknya, Ibu Andini mengucapkan istighfar sampai Andini tenang. Ayah Andini pun merasa senang, anaknya diberikan hidayah dari arah yang sangat tidak diduga. Alhamdulillah.

Keesokan harinya, Andini datang dengan wajah yang sembab. Ifa yang melihatnya bertanya-tanya, tetapi hanya terdiam sampai ia merasa bahwa Andini memang ingin bercerita.Saat bel istirahat pertama berbunyi, Andini memegang tangan Ifa yang hendak pergi ke masjid untuk sholat dhuha.

“Fa, gue mau ikut sholat dhuha juga. Terus, lo bener, sholat itu mengisi ketenangan jiwa. Mulai jumat ini, gue ikut kelompok mentoring lo, ya,” kata Andini sambil tersenyum kecil. Ifa, dengan sedikit air mata mengalir di wajahnya, mengangguk dengan bahagia.

Alhamdulillah, Din. Semoga tahap berikutnya, Andini mau pakai kerudung ya,” kata Ifa sambil menggandeng Andini ke MBR bawah untuk sholat Dhuha. Andini melihat ke arah langit yang cerah dengan matahari sebagai pijar utamanya dan tertawa kecil.

“Hehe. Pelan-pelan deh ya, fa. Semoga hidayah yang itu datangnya lebih cepat dari dugaanku.”

 

Tafsir Ibnu Katsir – Ar-Rahman ayat 13

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”

Yakni nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan, hai dua jenis makhluk, jin dan manusia yang kalian dustakan? Demikianlah menurut pendapat Mujahid dan ulama lainnya, yang hal ini ditunjukkan oleh pengertian yang terkadung pada konteks sesudahnya. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa nikmat-nikmat Tuhanmu tampak jelas pada kalian dan kalian diliputi olehnya hingga kalian tidak dapat mengingkarinya atau tidak mengakuinya. Dan kami hanya dapat mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh jin yang beriman kepada-Nya, “Ya Allah, tiada sesuatu pun dari nikmat-nikmat-Mu yang kami ingkari, maka bagi-Mulah segala puji.”

Disebutkan bahwa Ibnu Abbas selalu menjawabnya dengan ucapat berikut, “Tidak, lalu yang manakah, wahai Tuhanku?” dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa kami tidak mendustakan sesuatu pun darinya.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Abul Aswad, dari Urwah, dari Asma binti Abu Bakar yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. Pernah ia dengar dalam salatnya membaca satu rukun Al-Qur’an sebelum diperintahkan untuk menyerukan dakwahnya secara terang-terangan, sedangkan orang-orang musyrik mendengarkannya, yaitu firman Allah SWT: Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

– Tigabelas –