Memoar Pemimpin dan Bos Besar (Part 1)
Penulis: Floweria (angkatan 2007)
BAB I
Jeritan Di Pengkolan Haji Somat
Ragunan, November 2002
Di sudut kantin suatu sekolah menengah pertama, terlihat segerombolan anak laki-laki yang kurang lebih berjumlah 20 orang sedang berdiri melingkar. Mereka tak peduli ketika puluhan pasang mata memperhatikan mereka takut-takut. Kantin saat itu sedang ramai-ramainya, ada yang ngantri beli somay atau gorengan, ada yang asyik makan ketoprak, ada yang berdesakan beli minuman dingin, pokoknya masing-masing siswa mempunyai kesibukan masing-masing mengisi waktu istirahat siangnya di kantin yang berukuran kurang lebih 10 m x 8 m dan terletak di timur gedung sekolah utama itu. Bau makanan memenuhi udara dan membuat perut semakin keroncongan, ditambah lagi dengan bau keringat anak-anak yang bercampur baur. Ukhh…sesak dan pengap!
Namun tampaknya, segerombolan anak-anak yang berdiri melingkar itu sedang membicarakan sesuatu yang sangat penting tanpa memperdulikan keramaian kantin dan bau makanan yang sangat menggoda serta suasana yang pengap saat itu. Mereka mendengar dengan penuh konsentrasi setiap kata yang keluar dari mulut seorang anak lelaki bertubuh tinggi dan kekar yang berdiri di tengah-tengah lingkaran tersebut. Mukanya -yang bisa dibilang paling sangar diantara mereka- begitu tampak merah membara, begitu bersemangat memimpin “rapat” di siang bolong yang terik itu.
“Pokoknya, kita semua harus menang!!! Apa pun yang terjadi!” seru anak itu penuh semangat.
“Yaaa…!!!” sahut anak-anak yang lain tak kalah semangatnya.
“Kita harus membalas mereka! Enak aja, teman kita dipukulin! Emang mereka pikir, kita siapa, hahhh?!” seru Pemimpin lagi, anak tinggi-kekar itu biasa disebut, terlihat sangat emosi!
“Ya, kasihan Si Udin, sekarang katanya kagak masuk! Katanya sih badannya ampe diperban segala!” tutur anak yang berkaca mata menyahut perkataan Pemimpin itu dengan raut muka yang serius, sesuai dengan wajahnya yang tirus dan kurus.
“Inget ya semua, serangan kita kali ini harus lebih teratur daripada serangan kemarin! Kita serang mereka dari dua arah. Yang pertama, kita tunggu mereka di Pengkolan Haji Somat, kalau mereka sudah kelihatan dari jauh, langsung kita serang tanpa basa-basi! Jangan kasih mereka kesempatan! Dan serangan kita yang kedua dari arah Warung Babeh, tepat di belakang sekolah mereka. Serangan ini untuk mengantisipasi kalau mereka mundur ke belakang akibat serangan kita yang pertama tadi. Mengerti semuanya?!” jelas Pemimpin itu, ringkas, padat, dan jelas!
“Siap mengertiiii…!!!” sahut anak-anak yang lain.
Pemimpin itu manggut-manggut, tampak puas melihat kesigapan dari anak-anak buahnya saat ini. Bayangan akan kemenangan hari ini -entah yang sudah kesekian berapa kalinya itu- semakin membuat semangatnya membara! Dadanya semakin membusung bangga! Anak-anak Jati Warna memang pantas dikasih pelajaran! Rasain kalian semuanya nanti! Siapa yang berani nantangin anak-anak AWP, siap-siap aja dapat ganjaran! pikir Pemimpin itu geram. Siapa sih yang nggak kenal sama anak-anak AWP, gank yang paling disegani se-Ragunan! Padahal mereka baru anak-anak SMP! Tapi, soal yang namanya tawuran, JANGAN DITANYA! Dari sesama anak SMP atau bahkan anak-anak SMA dan STM pun, mau tak mau harus mengakui “keganasan” AWP! Sekali “libas”, HABIS SEMUA!!!!
Beberapa saat kemudian, mereka mulai membagi diri menjadi 2 kelompok atas instruksi Pemimpin. Tiba-tiba, salah seorang dari mereka bertanya kepada Pemimpin itu “Bos Besar mana, Pemimpin?”.
Seketika itu, suasana jadi riuh! Iya, mana Bos Besar kita? tanya semua anak dalam hati.
Pemimpin itu juga jadi bingung “Kemana ya Bos Besar? Kalau nggak ada Bos Besar, serangan kita kali ini kemungkinan akan gagal! Bos Besar-lah yang dapat menggerakkan “pasukan” berseragam putih biru ini. Ia-lah Komandan dalam setiap “pertempuran” pasukan menyerang sekolah lain dan semua penyerangan itu pasti MENANG!!”.
Suasana semakin panas saat menyadari ketidakhadiran Bos Besar diantara mereka. Bagaimana penyerangan nanti kalau nggak ada Bos Besar??!! Semua anak bertanya-tanya cemas dalam hati.
“Tenang, tenang, tenang semuanya!! Gw akan cari Bos Besar dulu! Lo semua tetap di sini seperti apa yang gw perintahkan tadi! Ngerti?!” perintah Pemimpin menenangkan “pasukan siap tempur” itu.
“Siap mengertiii…!!!”.
Dan Pemimpin itu pun meninggalkan “pasukannya”, kebingungan mencari di mana Bos Besar-nya itu berada.
Setiap Pemimpin bertanya keberadaan Bos Besar kepada anak-anak yang ditemuinya di jalan, semuanya hanya menggelengkan kepala sambil menundukkan kepala, tanda tidak tahu dan karena takut melihat Pemimpin yang tampaknya sedang sangat serius. Nyeremin banget!!!
“Kemana sih Bos Besar??!!!” tanya Pemimpin kesal dalam hati. Tiba-tiba, pandangan Pemimpin tertuju ke arah masjid di bagian barat gedung sekolah bertingkat dua itu. Apakah Bos Besar berada di dalam? Pemimpin berpikir sejenak sambil menghentikan langkahnya yang berat di depan masjid itu. Coba dulu masuk, habis dari tadi sudah muter-muter nyari di setiap sudut sekolah, batang hidung Bos Besar-nya itu pun tak kunjung terlihat jua! Tinggal satu tempat yang belum “dijamahnya”, yaitu masjid yang saat ini tampak penuh dengan anak-anak yang sedang menjalankan ibadah shalat dzuhur. Pemimpin nyegir. Sungguh kontras pemandangan yang ia lihat di masjid dan di kantin. Kantin sangat ramai dengan anak-anak yang sibuk mengisi perut mereka, sedangkan di masjid…he, he, he…!!! Hanya orang-orang yang mengutamakan akhiratlah yang bersedia menunda waktu makannya untuk shalat terkebih dahulu, tak peduli perut mereka keroncongan. Orang-orang aneh! pikir Pemimpin dalam hati. Akan tetapi, apakah Bos Besar ada di dalam? Seorang Bos Besar gituh?! Mana mungkin?! Masa pemimpin tawuran ada di masjid?! Tetapi akhirnya, Pemimpin pun masuk ke dalam masjid dengan langkah berat. Kalau bukan demi Bos, nggak bakalan deh gw masuk ke dalam sini! gerutu Pemimpin.
***
“Assalamualaikumwarrahmatullahiwabarakatuh….. Assalamualaikumwarrahmatullahiwabarakatuh…”.
Imam pun mengakhiri shalat dzuhur siang itu. Aku berdzikir bersama para makmum lainnya. Hati ini begitu tenang dan damai saat menyebut kalimat-kalimat dzikir itu. Setelah dzikir, dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh imam. Imam itu adalah salah seorang guru agama, Pak Hartaya namanya. Beliau kini duduk menghadap para makmum dan memimpin doa. Tiba-tiba, aku mendengar langkah berat dan tergesa-gesa menghampiriku dari belakang, dan sepertinya, aku tahu langkah siapakah itu!
“Bos Besar ternyata di sini! Gw cari kemana-mana juga…!!!” keluh pemilik langkah itu, ialah Sang Pemimpin.
“Hush…jangan keras-keras, banyak yang lagi shalat!!” tegurku tidak enak saat melihat seisi masjid melihat ke arah kami berdua dengan tatapan terganggu. Pemimpin langsung menutup mulut dengan kedua tangannya.
“Bos, anak-anak sudah siap di pojokan kantin! Kita semua menunggu perintah Bos selanjutnya. Apa yang Bos arahkan tentang strategi penyerangan kita kali ini, udah gw kasih tau sama mereka semua! “ lapor Pemimpin setengah berbisik.
“Oh…begitu!”. Aku terangguk-angguk tanda mengerti mendengar laporan Pemimpin. “Baiklah…kita temui mereka untuk persiapan terakhir! “ ajakku sambil beranjak meninggalkan masjid setelah sebelumnya bersalaman dengan Pak Hartaya dan anak-anak ROHIS yang biasanya berkumpul di masjid sehabis shalat. Pemimpin hanya berdiri segan di sampingku tanpa mengikuti apa yang kulakukan. Bos Besar ada-ada aja pakai salam-salaman segala! pikir Pemimpin dalam hati.
Setibanya di tempat rapat,di pojok kantin tepatnya, anak-anak langsung berdiri saat melihat kedatanganku dan Pemimpin. Anak-anak yang berada di kantin pun juga menatap kami berdua dengan tatapan segan. Siapa sih yang tidak kenal dengan Bos Besar dan Pemimpin? Dualisme kepemimpinan dalam AWP, gank anak-anak yang terkenal sebagai “preman-premannya” SMP N 5. Kami berdua memang mempunyai pengaruh yang sangat kuat. Tak heran kalau mereka sangat hormat kepada kami berdua.
“Bagaimana persiapan kalian semua?” tanyaku penuh wibawa. Kutatap anak buahku satu-persatu.
“Lapor Bos! Kita telah membagi 2 kelompok sesuai dengan perintah Pemimpin untuk 2 serangan.“ lapor salah seorang anak yang bertubuh gendut bernama Agus, anak kelas 2-3 dengan sigap layaknya seorang Polisi yang memberikan laporan kepada Jenderalnya, serius sekali!!
“Bagus…”. Kutersenyum. “Lalu…bagaimana dengan senjata yang akan kita pakai nanti? Sudah siap semua?” tanyaku lagi untuk mengecek.
“Lapor Bos! Senjata sudah 100% siap! Kami telah menyiapkan bambu, kayu, batu, ikat pinggang, dan rantai! “ lapor anak yang berkepala plontos, kali ini Banu namanya.
“Bagus, bagus, bagus…” ujarku puas sambil memanggut-manggutkan kepala.
“Kita berangkat sekarang Bos?” tanya Pemimpin yang dari tadi berdiri di sampingku. Tampaknya ia begitu bersemangat dan tidak sabar lagi untuk terjun langsung ke lapangan!
“Belum…!!” sanggahku cepat.
“Apa lagi yang kurang, Bos?” tanya anak-anak bingung. Mereka saling memperhatikan satu sama lain, mengecek kalau ada yang kurang swehingga Bos Besar mereka belum mengizinkan mereka pergi sekarang.
Kutatap kembali anak-anak itu satu persatu “ Kalian semua yang berada di sini sudah shalat dzuhur?” tanyaku. Serentak mereka menggelengkan kepala.
“Baiklah… Sebelum kita pergi, gw ingin agar kalian semua mengambil air wudhu dan langsung shalat dzuhur berjamaah di masjid! Jangan lupa berdoa agar kita diberi kemenangan kali ini. Mengerti semua?!” perintahku tegas sembari meninggalkan anak-anak yang diam termanggu penuh rasa heran. Lho, kok mau tawuran malah disuruh shalat dulu?! Jama’ah pula?! Anak-anak bertanya heran dalam hati.
“Tunggu apa lagi kalian?! Ayo pergi sekarang!” seruku setengah berteriak.
“Iya, iya Bos Besar…” sahut mereka sambil lari terburu-buru menuju masjid. Ku tepuk bahu Pemimpin dari belakang sambil berkata “ Lo ya yang menjadi imam..”. Pemimpin hanya diam, bingung…
Siang hari di Pengkolan Haji Somat
“Ayo serang!!”
“Maju semua!! Jangan kasih mereka kesempatan!!”
“Hajar!!Pukul!!Tau rasa lo semua!!”
“Ampun!! Gw nyerahhh…!!”
“Kagak ada ampun buat lo-lo pada! Rasain bogem mentah gw!!”
Pengkolan Haji Somat terletak di perempatan jalan utama, di Jalan Haji Munir. Biasanya, pengkolan ini adalah tempat untuk menunggu kendaraan umum, seperti angkot dan bus dengan trayek yang berbeda-beda. Tak heran kalau Pengkolan Haji Somat selalu ramai dengan orang-orang yang hendak menunggu kendaraan umum, terutama dengan anak-anak sekolah yang sering ngumpul di sana. Selain itu, di sana juga terdapat pangkalan ojek dan warung kopi. Akan tetapi, rutinitas di Pengkolan Haji Somat siang itu kembali terganggu akibat tawuran anak SMP yang sudah kesekian kalinya. Suasana di Pengkolan Haji Somat saat itu begitu mencekam ditambah dengan panasnya sengatan matahari siang. Saat itu menunjukkan pukul 2 siang, sedang panas-panasnya terik matahari. Tetapi semua itu tidak menyurutkan semangat anak-anak SMP N 5 untuk menyerang anak-anak SMP Jati Warna yang letak kedua sekolah itu berdekatan. SMP N 5 terletak di Jalan Haji Saepul, di sebelah kanan Pengkolan Haji Somat dan SMP Jati Warna terletak di Jalan Haji Ansori, tepat di depan Pengkolan Haji Somat. Tak heran kalau keduanya bertemu di tempat itu setiap harinya.
Teriakan-teriakan penuh semangat dari kubu penyerang tampak mendominasi, bagaikan letusan-letusan meriam dalam medan perang sungguhan tahun 45-an! Sedangkan jeritan-jeritan kesakitan dari pihak yang diserang tampak tak dihiraukan oleh pihak penyerang yang dipimpin oleh Bos Besar dan Sang Pemimpin. Sesuai dengan motto AWP, SEKALI LIBAS, HABIS SEMUA!
Warga sekitar Pengkolan Haji Somat panik dan ketakutan menyaksikan tawuran yang bisa dibilang cukup parah itu. Beberapa orang ada yang sampai sembunyi dengan manjat pohon, ada yang kabur naik angkot, ada yang berusaha menelepon POLISI, tetapi anehnya ada yang ikut-ikutan menyoraki, yang kebanyakan mereka itu adalah anak-anak kampung di sekitar Pengkolan Haji Somat.
“Bales dong!!”
“Hajar balik!! Gitu aja takut!!”
“Jangan mau kalah!! Tonjok aja lagi!!” itulah sebagian dari sorakan-sorakan mereka yang semakin membuat panas situasi tawuran. Mereka tak mau menyia-nyiakan tontonan gratis siang itu!
Kemenangan sudah pasti berada di tangan kubu penyerang. Hal ini terbukti dengan strategi penyerangan yang sukses besar, SMP N 5 berhasil menghadang SMP Jati Warna di Pengkolan Haji Somat, tempat awal penyerangan dan hasilnya sungguh sangat memuaskan! Anak-anak SMP Jati Warna kaget karena tiba-tiba diserang dari tempat yang tak terduga, sehingga mereka kalah telak!
Inilah kepuasannya, MENANG! MENANG! jeritku senang dalam hati setelah berhasil memukul salah seorang anak SMP Jati Warna. Darah mengalir deras dari hidung anak itu. Pukulanku memang terkenal sangat kuat, ditambah dengan kemampuanku dalam ilmu beladiri, musuh-musuh dapat aku lewati dengan mudah. Jadi ingat cerita Kakek tentang Umar bin Khattab yang katanya sangat perkasa itu! Setiap musuh takut padanya, bahkan setan pun sampai kabur kalau ngelihat Umar! Subhannalah banget sahabat Nabi Muhammad saw itu… Aku sudah hampir 3 bulan menjadi Bos Besar dalam AWP dan kalau tidak salah juga aku telah memimpin tawuran sebanyak 5 kali dan kelima-limanya sukses besar alias MENANG! Jadi, di SMP N 5 itu ada sebuah gank yang disebut AWP alias Anak Warung Pojok (karena basecamp-nya di warung pojok sekolah). Dalam AWP dikenal 2 orang ketua. Yang pertama adalah Pemimpin yang biasa juga dibilang wakil ketuanya dan seorang Bos Besar yang memegang kekuatan dan pengaruh yang tertinggi dalam AWP, bahkan biasanya dari turun temurun, Bos Besar itu juga anak yang sangat berpengaruh dalam lingkungan sekolah. Entah karena ia Juara Umum atau Ketua Eks-Kur. Dan tidak hanya anak-anak se-SMP N 5 saja yang segan, bahkan guru-guru pun juga agak segan! Memang, AWP mau dibubarkan oleh pihak sekolah karena meresahkan masyarakat akibat ulah-ulahnya yang antara lain suka tawuran dan ada juga beberapa anak yang merokok. Akan tetapi, AWP selalu dapat memberikan argument yang kuat kalau mereka selama ini tawuran karena ada yang ngajakin mereka ribut. Mereka berdalih kalau itu juga usaha mereka untuk membela nama baik sekolah. Selain itu, tak dapat dipungkiri juga kalau anak-anak AWP merupakan anak-anak yang berprestasi di sekolah. Berbagai kejuaraan telah mereka raih, entah dari olahraga, musik, atau pelajaran. Oleh karena itu, pihak sekolah tidak bisa berbicara banyak lagi. Mereka sudah menyerah!
Lagipula, selama aku memimpin tawuran, aku menekankan kepada semua anak buahku, bahwa hanya sampai memukul lawan saja, tidak boleh lebih dari itu!
Setelah menghajar kurang lebih 10 anak dengan setengah tenaga, pandanganku tiba-tiba teralih pada Pemimpin yang berdiri tak jauh di depanku. Ada yang aneh dengan gelagatnya! Ia memegang sesuatu yang tiba-tiba ia keluarkan dari saku celana birunya, dan yang membuatku begitu terkejut adalah Pemimpin sekarang sedang memegang pisau lipat yang siap ia tusukkan kepada lawan di depannya dan dalam hitungan detik, terjadilah apa yang aku takutkan selama ini!!!
”A..l..l..a..h…!!!!” jerit kesakitan dari mulut anak itu membelah suasana siang itu. Anak itu memegang perutnya yang berlumuran darah dan beberapa saat kemudian, brukkk…! Ia tersungkur jatuh ke tanah, tak bergerak…
Raut muka Pemimpin tampak menunjukkan kepuasan setelah berhasil menusuk anak itu.
“Mampus lo sekarang! Siapa suruh mukulin teman gw!!” maki Pemimpin emosi. Dan ia pun tertawa terbahak-bahak. Aku segera menghampiri Pemimpin dan anak yang tak bergerak itu.
“Kurang ajar!!” seruku berang. Tinjuku melayang keras di muka Pemimpin dan Ia hanya terdiam, tak melawan!
“Lihat apa yang telah lo lakukan sama nih anak!!” geramku sambil melihat ke arah anak yang naas itu. Aku menggerak-gerakkan tubuh anak itu, mengharap agar tubuh kurus itu bergerak, tidak membeku seperti itu…
”Bangun! Bangun! Ayo bangun!” teriakku kepada anak itu sambil menguncang-guncang tubuhnya, akan tetapi ia tak juga memberikan reaksi. Apakah ia mati? Ya Allah, bagaimana ini? Bagaimana??!!!
“Gimana kalau anak ini mati?? Lo mikir nggak sih??!!” tanyaku panik sambil memegang kerah baju Pemimpin. Pemimpin terdiam.
“Anak ini yang mukulin Udin, Bos…” bela Pemimpin.
“Persetan! Udin masih hidup, kalau anak ini mati?? Siapa yang tanggung jawab kalau terjadi apa-apa sama nih anak??” potongku panas.
Sunyi diantaraku, Pemimpin, dan anak itu. Yang terdengar adalah teriakan-teriakan anak-anak lain di seberang sana.
Aku merogoh-rogoh baju dan celana anak itu dengan tergesa-gesa. Aku tidak bisa berpikir tenang saat ini. Yang aku inginkan sekarang adalah anak itu bergerak! Aku terus mencari dompetnya. Siapa tahu ada kartu pengenal atau apa saja yang bisa membantu untuk menghubungi keluarganya. Saat tanganku merogoh saku celana sekolah berwarna hijau itu, akhirnya aku menemukan dompet hitam miliknya. Sesaat kulihat merk ternama tertera di kulit depan dompet itu. Anak orang kaya rupanya!
Segera kubuka dompet mahal itu dan mencari kartu pengenalnya.
“Ya Allah…Kita salah orang, dia bukan anak SMP Jati Warna, musuh kita! Dia anak sekolah lain!! Lihat ini!”. Aku menyodorkan kartu pelajar itu ke muka Pemimpin. Raut muka Pemimpin seketika itu berubah saat ia membaca Kartu Pelajar yang tertulis identitas dan asal sekolah anak itu yaitu SMP Islam Al-Aziz, bukan SMP Jati Warna. Pemimpin tiba-tiba menangis.
“Maafkan gw, Bos! Ini semua salah gw! Gw terlalu emosi…g..w.. k…i..r..a..” isak Pemimpin terbata-bata.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…” Terdengar suara adzan ashar yang menyayat hati. Begitu tenang dan syahdu. Pandanganku kembali tertuju ke anak itu, mengharapkan adanya keajaiban saat panggilan nan agung itu berkumandang, dan subhanallah…tiba-tiba tubuh anak itu bergerak!!
“S..a..k..i..t…” terdengar erangan kecil dari bibirnya yang pucat.
“Bergerak, bergerak!! Anak itu bergerak!!” jeritku tak percaya kepada Pemimpin. Setetes air mata jatuh ke pipiku, air mata syukur yang tak terperi. Terima kasih Ya Allah! Pemimpin yang merasa bersalah, begitu terperanjat melihat reaksi anak itu.
“Apa yang akan kita lakukan, Bos?” tanya Pemimpin kebingungan.
“Bodoh lo! Tentu saja bawa dia ke rumah sakit!!” jawabku sambil membopong tubuh kurus anak itu.
“Kalau ketahuan kita yang menusuknya, gimana Bos?” tanya Pemimpin itu lagi cemas.
Sekarang wajah Pemimpin tampak jauh lebih ketakutan. Aku mengerti apa yang sekarang Pemimpin rasakan. Aku pun terdiam sesaat.
“Sudahlah…serahkanlah semua kepada Allah!! Sekarang kita bawa saja anak ini secepatnya ke rumah sakit! Jangan sampai pendarahannya semakin banyak. Masalah ini akan kita bicarakan lagi nanti…“. Kutepuk bahu Pemimpin, berusaha menenangkannya. Pemimpin hanya mengangguk pasrah dan membantuku membopong anak itu ke rumah sakit terdekat.
(bersambung…)
Lanjutan:
Memoar Pemimpin dan Bosa Besar (Part 2)
Memoar Pemimpin dan Bosa Besar (Part 3)
Memoar Pemimpin dan Bosa Besar (Part 4 – END)