Memoar Pemimpin dan Bos Besar (Part 3)
Penulis: Floweria (angkatan 2007)
Sebelumnya:
Memoar Pemimpin dan Bosa Besar (Part 1)
Memoar Pemimpin dan Bosa Besar (Part 2)
BAB III
Dan Penyesalan Itu Pun Terlontar
Aku dan Pemimpin memutuskan untuk tidak masuk sekolah hari ini. Kami berdua akan menyelesaikan masalah ini sampai tuntas. Aku lihat Pemimpin telah menungguku di tempat kami janjian untuk pergi ke rumah sakit. Saat itu menunjukkan pukul 9 pagi.
“Assalamua’alaikum…” salamku semangat.
“Waa’alaikumsallam…” jawab Pemimpin. Matanya langsung tertuju ke arah bungkusan yang aku bawa. Tanpa menunggunya bertanya, aku pun menjelaskan kepadanya “Ini buah dari Kakek dan Nenek. Mereka titip salam kepada anak itu.“. Seketika raut muka Pemimpin berubah. Tampaknya ia sangat heran dan terkejut.
“Bos sudah cerita sama Kakek dan Nenek Bos?” tanya Pemimpin.
Aku mengangguk ringan.
“Semuanya?!” tanya Pemimpin lagi tak percaya.
Aku kembali mengangguk. “Iya, semuanya tanpa terkecuali!” jelasku.
“Terus, reaksi Kakek dan Nenek Bos bagaimana?! Mereka marah sama Bos? “ kejar Pemimpin . Aku kembali tersenyum padanya. Tampaknya aku harus menceritakan semuanya kepada Pemimpin supaya ia tidak penasaran lagi dan agar ia mau menceritakan masalah ini kepada kedua orang tuanya juga, yang aku yakin pasti belum ia lakukan.
“Jadi begini, awalnya gw sangat takut untuk membuka mulut, bahkan untuk melihat mata Kakek dan Nenek pun gw nggak berani! Lo tahu kan, Kakek adalah seorang ustadz yang sangat terkenal karena ketegasannya di tempat kami. Gw nggak dapat ngebayangin apa yang akan beliau perbuat sama gw setelah mengetahui semua kesalahan gw. Gw juga nggak tega untuk cerita sama Nenek karena selama ini Nenek sangat percaya dan sayang sama gw! Gw nggak kuat melihat Nenek nangis.”. Aku mulai bercerita kepada Pemimpin di angkot menuju rumah sakit. Pemimpin sangat serius mendengarkan ceritaku.
“Terus gimana lagi?” tanyanya tidak sabar.
“Yah…setelah gw pikir, nggak enak rasanya menyembunyikan masalah kepada orang yang sangat gw cintai. Ada perasaan yang mengganjal dalam hati gw! Oleh karena itu, gw bertekad untuk membuka mulut dan siap menerima apa pun resikonya. Lalu, gw mulai cerita sama Kakek dan Nenek. Gw cerita dari awal, dari gw dikenal sebagai Bos Besar -Sang Pemimpin Tawuran- dan tawuran-tawuran yang selama ini gw pimpin sampai dengan peristiwa kemarin dengan anak itu. Gw ceritain semuanya…”.
Pemimpin semakin antusias mendengarkanku.
“Bagaimana tanggapan mereka setelah Bos cerita semuanya?!” tanyanya penasaran.
Aku tersenyum melihat rasa keingintahuan Pemimpin.
“Seperti yang tadi gw takutin, raut muka Kakek langsung berubah. Gw tahu Kakek saat itu sangat marah dan kecewa sama gw! Nenek pun seperti itu. Gw melihat Nenek menahan tangis. Lalu, gw katakan kepada Kakek dan Nenek bahwa gw amat sangat menyesal semenjak kejadian itu. Gw benar-benar insyaf dan mau sungguh-sungguh bertaubat. Saat gw mengatakan hal itu, tak terasa gw sampai nangis di hadapan mereka berdua!“.
Pemimipin terdiam.
“Tahu nggak lo apa yang terjadi selanjutnya?! Kakek tiba-tiba meluk gw, begitu juga Nenek. Mereka bilang kalau mereka sangat bangga sama gw! Mereka pun maafin gw. Kakek mengatakan bahwa mungkin peristiwa kemarin merupakan hidayah buat gw dan gw harus bersyukur karena itu tandanya Allah masih sangat sayang sama gw. Kakek juga bercerita kalau dulu Ayah gw juga nakal kayak gw, malah kata Kakek, Ayah jauh lebih nakal! Tetapi, Ayah juga bertaubat setelah Nenek masuk rumah sakit akibat stress memikirkan Ayah yang suka berbuat keonaran di kampung-kampung. Kakek berkata bahwa Ayah dan gw pada dasarnya adalah orang yang baik dan sangat mencintai keluarga, oleh karena itu Kakek dan Nenek sangat senang mendengar gw ingin bertaubat setelah kejadian ini. “. Aku selesai bercerita.
“Lo udah nyeritain hal ini sama kedua orangtua lo?”. Aku balik bertanya kepada Pemimpin.
Pemimpin menggeleng lemah, “Gw takut sama Bapak…”.
Kutepuk bahu Pemimpin. “Gw tahu lo adalah orang yang sangat berani dan bertanggung jawab. Gw harap dengan cerita gw barusan menumbuhkan keberanian lo untuk cerita sama Bapak dan Ibu lo! Gw yakin, mereka akan maafin lo asal lo dan gw sama-sama berubah. Percayalah…Allah pasti memudahkan jalan bagi hamba-hambaNya yang mau bertaubat. “
Pemimpin menatapku lekat-lekat.
“Baiklah, gw akan cerita sama Bapak dan Ibu. Emang susah bicara sama cucu seorang ustadz! “ kelakar Pemimpin. Kami berdua tertawa riang.
Akhirnya kami sampai juga di rumah sakit. Kami langsung menuju kamar rawat anak itu. Kami melihat dari kaca pintu kalau anak itu sedang disuapi oleh Ibunya, wanita yang kemarin kulihat berlari tergopoh-gopoh bersama suaminya yang tampaknya, saat ini beliau tidak ada di kamar. Aku mengetuk pintu. Tok, tok, tok…!!
Setelah melihat kami di depan pintu, Ibu itu memberi isyarat kepada kami berdua untuk masuk. Kami langsung disambut hangat oleh beliau.
“Assalamualaikum…” salamku dan Pemimpin serempak.
“Wa’alaikumsallam, ayo kemari Nak!” ajak Ibu itu ramah. Ibu itu beranjak dari tempat menyuapi anaknya dan mengambil 2 buah kursi dan diletakkannya di sebelah tempat tidur. “Ayo duduk…” Kami berdua pun duduk dengan ragu-ragu.
“Maaf, kami hanya bisa membawa ini…” ucapku sambil menyerahkan bungkusan dari Kakek dan Nenek.
“Wah…jazakillah ya…Kalian berdua temannya Dinda,ya?” tanya Ibu yang tampaknya berusia sekitar 40-an itu sambil tersenyum. Tampak garis-garis kelelahan dalam wajahnya akan tetapi semua itu tidak mengurangi keanggunannya dalam jilbab lebarnya.
Dinda?? tanyaku dan Pemimpin heran dalam hati. Kalau nggak salah nama anak itu di kartu pelajar bukan Dinda, tapi kok…
“Ummi..jangan panggil Ana dengan panggilan itu dong di depan mereka, Ana kan jadi malu…” ucap anak itu. Kulihat mukanya jadi merah!
Ibu yang dipanggil Ummi itu tertawa kecil. “Afwan, afwan, Ummi ingatnya ada di rumah, Dinda…”.
Anak itu mengulurkan tangannya kepadaku dan Pemimpin untuk memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkapnya. Setelah itu, gantian kami berdua yang menyebutkan nama asli kami masing-masing.
“Ummi dengar dari Dinda bahwa kamu yang membawa Dinda ke rumah sakit ya?” tanya Ummi sambil menatapku. Aku dan Pemimpin tersenyum, tampaknya Ummi tidak bisa berhenti menyebut anak itu dengan sebutan Dinda. Aku mengangguk mendengar pertanyaan Ummi.
“Terima kasih banyak ya, kamu memang anak yang baik. Ummi tidak tahu harus membalas dengan apa kebaikanmu itu! “Ummi tersenyum hangat padaku.
Sepertinya masalah ini harus segera dijelaskan, jangan sampai mereka menganggapku dan Pemimpin terlalu baik…
“Sebelumnya, Ana minta maaf kepada Ummi dan Ente…”. Aku mulai membuka pembicaraan. “Ana di sini bersama teman Ana akan menjelaskan apa yang telah terjadi kepada Ummi dan Ente.“ lanjutku. Kurasakan Pemimpin meremas tanganku keras.
“Sebenarnya, Ente ada di sini karena…” Aku tak sanggup meneruskan kalimatku.
“Karena apa?” tanya Ummi dan anak itu kepadaku.
Kutarik nafas dalam-dalam dan kulanjutkan kalimatku. “Ente ada di sini karena menjadi korban penusukan sewaktu tawuran kemarin.”.
Ummi dan anak itu menatapku dan Pemimpin lekat-lekat.
“Dan Ana-lah yang memimpin tawuran itu! Kami yang menusuk Ente….”.
“Bukan, bukan, bukan dia yang menusuk Ente, Ana-lah yang menusuk Ente!! Ana yang bertanggung jawab penuh atas penusukkan ini! Dia sama sekali tidak bersalah. Dia yang membantu Ana membawa Ente ke rumah sakit. Jadi, Ana-lah yang berhak disalahkan penuh atas kejadian ini. “. Pemimpin menghembuskan nafas berat. Akhirnya keluar juga semua yang ada di kepalanya, semua beban yang mengganjal. Untung tadi di angkot aku sudah mengajari ANA dan ENTE kepada Pemimpin sehingga sekarang ia fasih berbicara dengan keluarga itu.
“Dia menusuk Ente karena mengira bahwa Ente adalah orang yang memukuli teman kami. Penyebab tawuran itu adalah karena teman kami dipukulin anak sekolah lain, kami tidak terima, jadi kami menyerang sekolah itu! Ternyata, kami salah tusuk orang…” tambahku.
Ummi dan anak itu terdiam seribu bahasa. Kulihat mata Ummi basah. Aku tidak tahu apa yang beliau pikirkan dan rasakan kepada kami berdua sekarang, kami yang menusuk putranya, kami yang menyebabkan putranya masuk rumah sakit, kami yang menyebabkan perut putranya dijahit…Wajar kalau Ummi marah kepada kami berdua.
“Ana terima kalau Umi dan Ente marah kepada kami berdua. Ana tahu, kamilah penyebab ini semua! Akan tetapi, kami tidak akan lepas tangan atas perbuatan kami. Kami akan bertanggung jawab!! Tahukah Ummi dan Ente, semenjak kejadian ini, kami berdua telah sadar atas segala kekhilafan dan kesalahan kami selama ini. Kami sungguh menyesal dan kami bertekad untuk tidak mengulangi kejadian ini lagi. Kami ingin bertaubat…Jadi, kami mohon, maafkanlah kami berdua…”. Air mataku tak terbendung lagi, begitu juga Pemimpin. Kami terisak dalam tangis kami.
“Kami takut Allah marah sama kami dan tidak mau menerima taubat dari kami kalau Umi dan Ente tidak memaafkan kami. “ Pemimpin ikut bicara.
Kami berdua tertunduk, takut melihat Ummi dan anak itu.
“Dan masalah biaya rumah sakit, kita berdua sepakat akan patungan untuk membayarnya…” tambahku kembali.
Sunyi diantara kami berempat. Aku seakan mendengar suara detak jantungku sendiri. Waktu berjalan lama sekali menunggu keputusan Ummi dan anak itu. Tiba-tiba Ummi menghampiri dan memeluk kami berdua dengan erat. Aku bisa mendengar isakan tangis dan desahan nafasnya.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!!” seru Ummi lembut.
“Subahanallah, sungguh Allah Maha Kuasa Atas Segala Sesuatu. Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat, tak pantas bagi kita sebagai makhlukNya untuk bersombong diri dan tidak memaafkan sesamanya.” lanjut Ummi.
“Jadi Ummi mau memaafkan kami berdua?” tanyaku penuh harap.
Ummi menganggukkan kepala. “Tentu anak-anakku sayang…”
Rasanya hati ini mau meledak karena bahagianya dan aku yakin Pemimpin juga merasakan hal yang serupa denganku. Kulihat Dinda dan ia sedang tersenyum pada kami berdua, senyum yang tulus sekali!
“Ummi harap peristiwa ini menjadi pelajaran bagi kalian atas tindakan kalian selama ini. Jangan pernah diulangi lagi ya! Ummi rela putra Umi satu-satunya yang sangat Ummi sayangi menjadi korban kalian untuk yang terakhir kalinya “ tutur Ummi. Kemudian Ummi mencium kening kami berdua. Sungguh, hangat hati dan jiwa ini! Aku pun kembali terisak. Tiba-tiba aku merindukan seseorang, seseorang yang selama ini selalu muncul dalam mimpiku, seseorang yang sangat ingin aku peluk dan cium, seseorang yang ingin aku peluk dan kucium harum tubuhnya…
Pintu kamar terbuka dan muncullah bapak berpeci putih yang kulihat kemarin bersama Ummi. Pasti beliau ayah anak ini.
“Assalamualaikum…” salam Bapak itu dengan raut muka heran karena melihat ada orang-orang yang menangis di hadapannya.
“Wa’alaikumsallam..” jawab kami serempak. Kami berempat segera menghapus air mata.
“Ada apa ini? Kok kalian pada menangis? Ada apa?” tanya Bapak itu lagi bingung.
Tanpa diminta, Ummi mulai menceritakan semua yang terjadi kepada Bapak itu yang dipanggil Abi oleh Ummi dan anak itu dan mengatakan penyesalanku dan Pemimpin. Dan ternyata, Abi juga memaafkan kami berdua sambil tersenyum. Aku dan Pemimpin merasa menjadi orang yang paling berbahagia di dunia. Hati ini sangat lega. Memang benar, kejujuran pada awalnya sangat berat dan menyakitkan akan tetapi pada akhirnya akan membuahkan kebahagian dan kedamaian dalam hati.
Setelah mengucapkan terima kasih, mencium tangan Abi dan Ummi, dan berjabat tangan dengan anak itu, aku dan Pemimpin meninggalkan kamar. Kami masih mempunyai tugas yang menurut kami itulah tugas yang terpenting dan terberat. Kami segera menuju sekolah, SMP N 5. Kami harus segera bertemu dengan teman-teman yang terlibat tawuran kemarin dan mengingatkan mereka semua. Selama perjalanan ke sekolah, kami membicarakan apa yang akan kami katakan kepada teman-teman. Kami menyatukan pendapat dan menarik kesimpulan tentang apa yang akan kami lakukan ke depannya.
“Lo tahu siapa yang tadi gw ingat sewaktu Ummi memeluk kita berdua?” tanyaku kepada Pemimpin di angkot perjalanan ke sekolah.
Pemimpin mengerutkan keningnya “Siapa?”
Aku terdiam sesaat, menarik nafas, lalu berkata “Ibu gw…”
Pemimpin merangkulku saat aku mulai meneteskan air mata.
“Gw sangat merindukannya…” ucapku lirih.
“Pasti Ibu Bos juga merindukan Bos.”. Pemimpin berkata. “Dan pasti Ibu Bos bangga mempunyai anak yang berani, jujur, dan bertanggung jawab seperti Bos. Gw pun bangga mempunyai teman seperti Bos. Bos banyak memberikan gw pelajaran seperti kejadian ini…Terima kasih Bos…”.
Kutatap Pemimpin. “Lo yakin?”
Pemimpin menganggukkan kepala.
“Terima kasih…” ucapku.
(bersambung…)
Lanjutan: